Ah, Teman...
Waktu ini terasa cepat berlalu.
Berpuluh tahun yang lalu, aku hanyalah seorang anak perempuan kecil,
disayang, dimanja, dilindungi dalam satu bangunan cinta.
Lima belas tahun yang lalu, aku mulai sedikit mempunyai dunia sendiri,
menjadi gadis kecil, menikmati kesenangan masa remaja di luar sana.
Namun aku selalu kembali, ke dalam rumah cintaku.
Dan sepuluh tahun yang lalu, aku mulai beranjak,
memasuki dunia dewasa.
Memiliki mimpi, merajut hidup untuk mencapai mimpiku.
Lebih berani untuk beranjak dari cinta yang ada di rumah.
Ah, namun aku adalah tetap,
selalu merindukan dan menemui cinta yang sama, di rumah.
Lebih dari lima tahun kemudian,
yang adalah pula lebih lima tahun yang lalu
Aku benar-benar beranjak meninggalkan rumah
Mencoba membangun rumahku sendiri, bersama orang yang memilihku menjadi makmumnya.
Hidupku menjadi jauh lebih berwarna.
Ah, namun sungguh, Teman.....
Aku sama sekali bukan makmum yang baik
Nyaris seperempat abad hidup di dunia penuh cinta indah,
mengantarkan kekecewaanku akan cinta yang ternyata tidak begitu indah.
Berulang kali aku kemudian berpikir,
Kenapa kisah cintaku tidak semanis kisah cinta dalam novel-novel islami yang kerap kubaca sedekade silam.
Namun ia adalah imamku,
selalu berusaha menjadi imam terbaik,
sebaik yang ia mampu
Dan akulah makmumnya,
berusaha mengikutinya dari awal akad diucapnya,
dan menikmati cinta tulusnya :)
Maka sejak tiga tahun silam, aku berusaha memaknai hidup lebih baik.
Berperang dengan waktu bukan hanya tidak menghasilkan solusi,
namun hanya kesia-siaan tenaga dan pikiran.
Toh hidupku sudah sangat indah, Teman...
Perbedaan yang terbentang memang terasa semakin besar,
Maka kukatakan padanya dengan mantap saat penyesalannya datang, membenarkan keraguanku di masa silam.
'Ah, sayang, saat ini bukan tentang kenapa dulu kita memilih jalan ini. Karena ini adalah jalan yang ada di depan kita. Ternyata penuh jurang. Aku ingin menujumu, dan kamu harus mau menujuku. Ini bukan tentang jurang yang mencoba memisahkan kita. Ini tentang jembatan yang harus kita bangun seumur hidup kita.'
Menggali kembali ingatanku,
menelusuri perjalananku belakangan ini saat hidupku akhirnya penuh warna.
Aku tergugu menangisi keteledoranku mengisinya.
Dan alih-alih menyalahkan siapa pun atas ini, terlalu banyak yang bisa aku persalahkan atas sikapku di masa lalu.
Suatu introspeksi diri yang sungguh menyakitkan.
Mengutip kata-kata seorang teman, Teman.
: "Hidup adalah waktu tersisa, diisi sebelum kalah."
Aku hanya berharap, kami tidak akan kalah oleh waktu kami. Belum
Bogor, 18 Agustus 2011
(Repost and editing, 26 Desember 2011)